Monday 15 October 2012

suatu masa dahulu

MAJAPAHIT II

Setelah raja S’ri Kerta-negara gugur, kerajaan Singhasa-ri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan penguasa Singhasa-ri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singha-sa-ri pertama dan anak dari Dyah Le(mbu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Ke(rtana-gara yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Na-garakerta-gama menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Ke(rtana-gara dinikahinya semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasa-ri, Raden Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singhasa-ri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Te(rik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang.
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasa-ri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar S’ri Ke(rtara-jasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar S’ri Parames’wari Dyah Dewi Tribhu-wanes’wari, S’ri Maha-dewi Dyah Dewi Narendraduhita-, S’ri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnya-paramita-, dan S’ri Ra-jendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhu-wanes’wari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhu-wanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Ra-jadewi Maha-ra-jasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalage(me(t. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Ke(rtana-gara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, S’rimat Tribhu-wanara-ja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasa-ri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayana-gara. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayana-gara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayana-gara juga terpengaruh oleh hasutan Maha-pati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (be(ke(l bhayangka-ri). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.
Pada masa Jayana-gara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayana-gara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.
Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayana-gara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sade(ng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.
Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singha-sari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar S’ri Rajasana-gara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhu-mi (maha-patih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitaloka-, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitaloka- bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.
Setelah peristiwa Bubat, Maha-patih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pa-duka S’ori, anak dari Bhre We(ngke(r yang masih terhitung bibinya.
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Maha-patih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhu-mi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhu-mi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Pare(gre(g. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumape(l ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhu-mi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhu-mi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumape(l Dyah Ke(rtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar S’ri Ra-jasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Su-ryawikrama Giris’awardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhu-mi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singha-sari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.
(Disarikan dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta)
Genealogi Raja-Raja Singasari dan Majapahit
 Setelah raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan penguasa Singhasāri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singhāsāri pertama dan anak dari Dyah Lěmbu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Kĕrtanāgara yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Nāgarakertāgama menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Kěrtanāgara dinikahinya semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasāri, Raden Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singhasāri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Těrik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang.
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasāri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari, Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā, Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā, dan Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhūwaneśwari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhūwanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Rājadewi Mahārājasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalagěmět. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kěrtanāgara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, Śrimat Tribhūwanarāja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasāri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanāgara. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanāgara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayanāgara juga terpengaruh oleh hasutan Mahāpati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (běkěl bhayangkāri). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.
Pada masa Jayanāgara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayanāgara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.
Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayanāgara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sadĕng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.
Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singhāsari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar Śri Rajasanāgara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhūmi (mahāpatih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitalokā, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitalokā bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.
Setelah peristiwa Bubat, Mahāpatih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pāduka Śori, anak dari Bhre Wĕngkĕr yang masih terhitung bibinya.
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Mahāpatih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhūmi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Parěgrěg. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumapĕl ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhūmi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhūmi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapĕl Dyah Kĕrtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar Śri Rājasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Sūryawikrama Giriśawardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhūmi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singhāsari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.
(Disarikan dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta)
Dikenal sebagai Pusat Magis Seluruh Kerajaan Nusantara
Oleh: Anam Anis*
KERAJAAN Majapahit, selain mempunyai sebuah ibu kota sebagai pusat pemerintahan dan tempat kedudukan raja serta para pejabat kerajaan, ternyata juga sebagai pusat magis bagi seluruh kerajaan. Apabila ditinjau dari konsep kosmologi, maka wujud Ibu Kota Majapahit dianggap sebagai perwujudan jagad raya, sedangkan raja identik dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Gunung Mahameru.
Keberadaan Kota Majapahit menurut konsep tersebut memiliki tiga unsur, yaitu unsur gunung (replikanya dibentuk candi), unsur sungai (replikannya dibentuk Kanal) dan unsur laut (replikanya dibentuk waduk).
Gambaran tentang Kerajaan Majapahit, khususnya tentang penataan pemukiman istana dan sekitarnya telah diuraikan dalam Kakawin Nagarakrtagama pupuh VIII-XV. Disebutkan bahwa keadaan istana dikelilingi oleh tembok yang kokoh dengan parit keliling diluarnya.
Susunan bangunan di istana meliputi tempat tinggal raja dan keluarganya, lapangan manguntur, pemukiman para pendeta dan rumah-rumah jaga pegawai kerajaan. Rumah di dalam istana indah, bagus dan kuat. Ibu Kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh raja-raja daerah dan kota-kota lain. Di sekitar istana tempat kedudukan raja terdapat tempat-tempat kedudukan raja-raja daerah (paduka bhattara) serta para pajabat/pembesar kerajaan.
Kerajaan Majapahit sebagai mandala yang dikelilingi oleh pulau-pulau lain yang disebut wilayah Nusantara (dwipantara) dan kerajaan-kerajaan lain yang mengelilingi baik sebagai negara-negara sahabat (mitra) maupun sebagai negara-negara atau daerah-daerah yang ada dibawah pengaruh atau perlindungan kekuasaan negara Majapahit.
Dalam struktur birokrasi pemerintahan Kerajaan Majapahit, seorang raja atau biasa disebut Sri Maharaja adalah merupakan penguasa tertinggi dan dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia. Raja sebagai orang nomor satu di kerajaan adalah orang suci yang dihormati, mempunyai kekuasaan yang besar didukung oleh perangkat birokrasi maupun militer serta sebagai seorang yang pengasih dan pelindung rakyat dan negara.
Untuk itu sebagai seorang raja haruslah mencurahkan anugerah kepada rakyatnya, harus menghukum pencuri dan pejahat, harus membuat bahagia seluruh rakyatnya dengan wajah dan senyumnya, harus selalu mengetahui keadaan rakyatnya dan semua gejolak di berbagai lapisan masyarakat.
Hubungan antara raja dengan pegawai-pegawainya dalam birokrasi pemerintahan Kerajaan Majapahit adalah berbentuk hubungan clienship, yaitu ikatan seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan penguasa tertinggi.
Sedangkan hubungan raja dengan rakyatnya digambarkan sangat akrab dan ada saling ketergantungan sebagai tercermin dalam Negarakrtagama pupuh LXXXIX, yaitu negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan.
Raja sebagai puncak tertinggi dalam hirarki kerajaan dalam menjalankan tugas dibantu sejumlah pejabat birokrasi, para putra dan kerabat dekat raja mendapatkan kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum diangkat menjadi raja pada umumnya diberi kedudukan sebagai raja muda (rajakumara).
Misalnya Jayanegara sebelum menjadi raja, terlebih dahulu berkedudukan sebagai Rajakumara di Daha. Hayam Wuruk sebelum naik tahta menjadi Raja Majapahit, terlebih dahulu berkedudukan sebagai Rajakumara di Kabalan.
Slamet Mulyana dalam Negarakrtagama dan tafsir sejarahnya (1979: 159), menjelaskan bahwa Jayanegara dinobatkan sebagai raja muda di Kediri pada tahun 1295.
Pengangkatan raja dimaksud sebagai pengakuan bahwa raja yang sedang memerintah akan menyerahkan hak atas tahta kerajaan kepada orang yang diangkat sebagai raja muda, jika yang bersangkutan telah mencapai usia dewasa atau jika raja yang sedang memerintah mangkat.
Raja muda Majapahit yang pertama ialah Jayanegara. Raja muda yang kedua adalah Dyah Hayam Wuruk yang dinobatkan di Kahuripan (Jiwana) dengan nama raja abhiseka Sri Rajasanegara. Pengangkatan raja muda tidak bergantung pada tingkatan usia.
Baik raja Jayanegara maupun Raja Dyah Hayam Wuruk masih kanak-kanak, waktu diangkat menjadi raja muda, pemerintahan di negara bawahan yang bersangkutan dijalankan oleh patih dan menteri.
Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Majapahit, pernah mencapai puncak kejayaan pada abad ke XIV semasa dibawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Hal ini tak lepas dari sosok raja sebagai pimpinan/penguasa tertinggi kerajaan yang memang benar-benar mahir dalam menjalankan roda pemerintahan, berhasil membangun sistem peradilan yang baik guna menegakkan hukum (supremasi hukum) yang bersumber pada hukum adat dan agama serta berlandaskan pada ajaran budi pekerti, menghukum yang bersalah tampa pilih-pilih dan melindungi yang benar tanpa pamrih.
Seluruh hasil pajak (upeti), telah digunakan sepenuhnya untuk melaksanakan pembangunan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Raja sebagai pimpinan tertinggi kerajaan, ternyata sangat dihormati dan dipatuhi seluruh perintah-perintahnya, baik oleh para pejabat, para pegawai maupun oleh rakyatnya.
Hal inilah yang membuat konsep-konsep pembangunan negara dapat berjalan sebagaimana mestinya, tanpa mengenal Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Peta politik kekuasaan negara Majapahit, nampaknya tidak dibangun melalui partai politik (Parpol), akan tetapi dibangun dengan sistem turun temurun atau sistem kewarisan tahta kerajaan. Suksesi kepemimpinan kerajaan seperti tersebut diatas bila di kaji dengan menggunakan kacamata demokrasi modern, mungkin saja dianggap tidak demokratis.
Namun kenyataannya penyelenggaraan negara Kerajaan Majapahit dapat berjalan dengan baik, tanpa ada protes atau demo-demo, bahkan telah berhasil mencapai puncak kejayaan dan zaman keemasan. Situasi ini sangatlah berbeda dengan peta politik kekuasaan di Negara Indonesia, dimana terhitung sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat ini, kekuasan negara diperebutkan melalui skenario politik dari banyak partai politik dengan bersenjatakan demokratisasi.
Namun hasilnya banyak rakyat yang kecewa, karena janji-janji peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dikala kampanye, seperti pendidikan gratis, biaya pengobatan gratis, pelayanan publik dipermudah dan dipercepat, dan lain-lain ternyata selalu tidak ada buktinya.
Bahkan ke depan sepertinya, sistem perebutan kekuasaan pemerintahan negara atau daerah akan semakin tidak memberikan harapan yang lebih baik bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini nampak dari semakin jauhnya keterlibatan orang-orang yang memiliki figur pemimpin yang benar-benar pemimpin, hanya karena yang bersangkutan tidak memiliki biaya/dana yang besar.
Kharisma pemimpin kini sudah tidak dibutuhkan lagi, sehingga wajar saja bila rakyat gampang protes atau demo-demo karena ada ketidakpuasan terhadap para pemimpin yang dalam pemilihannya diusung oleh parpol-parpol dengan landasan kontrak-kontrak politik semata.
Sudah saatnya, parpol pengusung calon pemimpin yang terpilih untuk mau bertanggung jawab atas segala tindakan yang melanggar hukum dan menyengsarakan rakyat yang dilakukan oleh seseorang pemimpin yang berhasil diusungnya. Marilah kita menoleh pada sejarah keberhasilan dan kejayaan bangsa zaman Kerajaan Majapahit, karena bangsa Majapahit adalah leluhur bangsa Indonesia. (*)

Sabdopalon, Setelah 500 Tahun

Ramalan Sabdopalon yang dimuat dalam kitab Darmogandul yang ditulis 1478 berisi bermacam nasihat, juga menguraikan riwayat tersiarnya Islam di pulau Jawa. Pro & kontra mengenai ramalan Sabdopalon.
NAMANYA Sabdopalon. Ia cuma seorang pembantu (abdi), meski yang diabdi adalah Brawijaya VIII, raja terakhir Kerajaan Majapahit. Tapi nama sang abdi kini malah lebih bergema dibanding sang majikan — setidaknya di kalangan penganut kepercayaan. Itu karena sang abdi tadi pernah membuat sebuah ramalan, yang konon diucapkan pada 1478, di saat runtuhnya Majapahit Ramalan Sabdopalon dimuat dalam Kitab Darmogandul, sebuah buku Jawa yang tidak jelas pengarangnya. Selain berisi bermacam nasihat, kitab ini juga menguraikan riwayat tersiarnya Islam di Pulau Jawa.
Alkisah, Raden Patah, putra Brawijaya. bersama sejumlah wali berontak terhadap Majapahit yang berdasarkan agama Budha. Akibatnya, Majapahit runtuh dan berdirilah Kerajaan Demak yang berdasarkan Islam. Menurut Kitab Darmogandul, di saat Brawijaya diajak masuk Islam oleh Sunan Kalijaga, terjadilah dialog antara mereka.
Tanya Brawijaya: “Jika saya masuk Islam. apakah saya akan diperintahkan sembahyang, dan bila belum mengerti, apakah aku akan dimandikan di kolam?” Sunan Kalijaga tertawa. “Tidak. Paduka hanya perlu mengucapkan dua kalimat syahadat.”
Akhirnya Brawijaya masuk Islam. Ketika Brawijaya menyarankan kepada abdinya yang bernama Sabdopalon agar ikut memeluk Islam, si abdi menolak. Abdi yang “raja dan yang tanah Jawa” ini memilih kembali ke kerajaannya. Tapi ia punya pesan.
“Kelak sepeninggal saya, jika waktunya tiba, genap 500 tahun sejak hari ini, akan saya ganti agama (Islam), akan kami sebar agama kebatinan ke seluruh Jawa. Siapa yang tak mau menerima, akan kuhancurkan. Kuberi alamat kedatanganku: bila Gunung Merapi meletus, itulah tanda aku mulai menyebar keyakinan, menepati janjiku.”
Dari pesan yang bersifat mesianistis ini, kata Drs. Abu Tholhah, dosen Aliran Kepercayaan dan Kebatinan Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, jelas dimaksudkan bahwa 500 tahun setelah runtuhnya Majapahit (1478) agama kebatinan akan bangkit lagi. “Anehnya, yang disebut agama kebatinan itu disebut juga sebagai agama budhi,” katanya. Akibatnya, orang kebatinan mengklaim yang dimaksud ialah aliran kebatinan, sedang kalangan Budha berpendapat yang dimaksud adalah agama mereka.
Banyak penganut kepercayaan yang percaya bahwa ramalan Sabdopalon itu tidak meleset. Buktinya. aliran kepercayaan diakui oleh negara pada 1983 lewat GBHN. “Pengakuan itu semakin menimbulkan optimisme di kalangan aliran kebatinan bahwa suatu saat aliran kebatinan akan berjaya kembali sebagai agama Jawa,” ujar Abu Tholhah.
Namun, bukankah lima abad setelah 1478 adalah 1978? Benarkah di saat yang dijanjikan itu ramalan Sabdopalon menjadi kenyataan? Waktu itu yang terjadi adalah penegasan dalam GBHN bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaannya juga dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru. Konsekuensinya adalah dimasukkannya Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ke dalam bidang kebudayaan yang dikelola Departemen P & k.
Siapa sebenarnya penulis Kitab Darmogandul? Ada yang percaya, kitab tersebut tulisan pujangga Jawa terkenal Ronggowarsito. Banyak ulama Islam yang mengecam keras buku tersebut, yang dianggap merendahkan dan memutarbalikkan agama Islam. Tapi tak kurang pula yang membelanya.
Sejarawan Taufik Abdullah menganggap Sabdopalon adalah tokoh fiktif yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. “Sabdopalon hanyalah suatu simbol harapan orang Jawa terhadap Kejayaan Majapahit yang dinilai sebagai puncak kebesaran Jawa,” katanya.
Pengaitan Sabdopalon dengan zaman kebesaran Majapahit berarti ada keinginan pembuat ramalan untuk merasakan kembali kebesaran Majapahit. Taufik mengingatkan, dalam buku Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa raja Mataram masih keturunan Majapahit. Itu menunjukkan adanya kekaguman terhadap Majapahit dan kesinambungan budaya yang hendak ditampilkan kembali. Fungsinya untuk memperkuat kekuasaan raja bersangkutan. “Jadi, Majapahit menjadi semacam impian yang memberi inspirasi bagi perkembangan sejarah dan spiritual,” ujar Taufik.

Raja-raja Majapahit

Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[7].
  1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (12931309)
  2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (13091328)
  3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (13281350)
  4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (13501389)
  5. Wikramawardhana (13891429)
  6. Suhita (14291447)
  7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (14471451)
  8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (14511453)
  9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (14561466)
  10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (14661468)
  11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (14681478)
  12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (14781498)
  13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)[23]

[sunting] Warisan sejarah

Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutn

No comments:

Post a Comment