Setelah raja S’ri Kerta-negara gugur, kerajaan Singhasa-ri berada di
bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan
penguasa Singhasa-ri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut
kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja
Singha-sa-ri pertama dan anak dari Dyah Le(mbu Tal. Ia juga dikenal
dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber
sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Ke(rtana-gara yang masih
terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua
anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Na-garakerta-gama menyebutkan
bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Ke(rtana-gara dinikahinya
semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasa-ri, Raden Wijaya
diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang
diderita Singhasa-ri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke
sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa
pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu,
rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana
memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau
ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali
ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia
diberi sebuah daerah di hutan Te(rik untuk dibuka menjadi desa, dengan
dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai
Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru
yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian
memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap
almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya
Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden
Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja
Jayakatwang.
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan
pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum
Singhasa-ri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun
1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung
untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas
langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia
meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan
sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang
berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina
dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan
kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di
dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin
mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan
menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta
izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai
Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para
pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik
memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang
tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu
anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh
pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan
meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk
menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat
diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian
memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan
Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama
dengan gelar S’ri Ke(rtara-jasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara
dijadikan permaisuri dengan gelar S’ri Parames’wari Dyah Dewi
Tribhu-wanes’wari, S’ri Maha-dewi Dyah Dewi Narendraduhita-, S’ri
Jayendradewi Dyah Dewi Prajnya-paramita-, dan S’ri Ra-jendradewi Dyah
Dewi Gayatri. Dari Tribhu-wanes’wari ia memperoleh seorang anak laki
bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri.
Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhu-wanottunggadewi
Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Ra-jadewi
Maha-ra-jasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri
lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan
memiliki anak darinya yang diberi nama Kalage(me(t. Seorang perempuan
lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri
oleh kerabat raja bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan
Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja
kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi
ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh
Ke(rtana-gara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung
pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu,
S’rimat Tribhu-wanara-ja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya
untuk dinikahkan dengan raja Singhasa-ri. Dari catatan sejarah diketahui
bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang
kembali ke kampung halamannya.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayana-gara.
Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja
Jayana-gara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang
sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.
Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang
berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya
Jayana-gara juga terpengaruh oleh hasutan Maha-pati yang menjadi biang
keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini
dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya
itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan
gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil
mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya
berstatus sebagai pengawal raja (be(ke(l bhayangka-ri). Kemahirannya
mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada
pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan
Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.
Pada masa Jayana-gara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan
antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di
Majapahit. Jayana-gara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia
dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan
isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.
Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya
diambil alih oleh adik perempuan Jayana-gara bernama Jayawisnuwarddhani,
atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang
diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam
negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan
berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sade(ng dan Keta tahun
1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat
dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah
persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal,
bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di
Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura
(Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali,
Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk
membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.
Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum
mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk
dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singha-sari.
Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar S’ri
Rajasana-gara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhu-mi
(maha-patih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang
raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak
kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai
hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan
sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga
Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui
sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika
rencana pernikahan antara Dyah Pitaloka-, puteri raja Pajajaran, dengan
Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu
sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan
rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitaloka- bunuh
diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini
gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu
Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang
Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada
waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan
eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama
Nala.
Setelah peristiwa Bubat, Maha-patih Gajah Mada mengundurkan diri dari
jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah
dengan sepupunya sendiri bernama Pa-duka S’ori, anak dari Bhre We(ngke(r
yang masih terhitung bibinya.
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah
kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam
Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran
air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah
pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar
muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Maha-patih Gajah
Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhu-mi tidak
terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam
Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang
Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit
yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan
keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai
raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan
langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum
mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk
puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre
Wirabhu-mi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta
itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang
saudara yang dikenal dengan Perang Pare(gre(g. Bhre Wirabhumi yang
semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre
Tumape(l ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhu-mi kalah
bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini
membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah
terbunuhnya Bhre Wirabhu-mi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati
karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka
kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumape(l Dyah Ke(rtawijaya.
Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar S’ri
Ra-jasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan.
Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang
raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing.
Situasi sedikit mereda ketika Dyah Su-ryawikrama Giris’awardhana naik
tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu
perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih
berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500.
Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama
Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin
meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang
menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan
Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah
kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah
beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah,
pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhu-mi. Ia
menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang
pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah
maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan
penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja
Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur
yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singha-sari,
digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan
menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari
bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.
(Disarikan dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta)
Genealogi Raja-Raja Singasari dan Majapahit
Setelah
raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di bawah
kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan penguasa
Singhasāri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali
kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja
Singhāsāri pertama dan anak dari Dyah Lěmbu Tal. Ia juga dikenal dengan
nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden
Wijaya sebenarnya adalah mantu Kĕrtanāgara yang masih terhitung
keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang
raja sekaligus, tetapi kitab Nāgarakertāgama menyebutkan bukannya dua
melainkan keempat anak perempuan Kěrtanāgara dinikahinya semua. Pada
waktu Jayakatwang menyerang Singhasāri, Raden Wijaya diperintahkan untuk
mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita
Singhasāri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa
bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal
duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden
Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh
perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat
bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan
diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah
daerah di hutan Těrik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk
mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat
bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama
Majapahit. Di desa inilah Raden
Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang
loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan
Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk
membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang
menyukai raja Jayakatwang.
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan
pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum
Singhasāri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun
1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung
untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas
langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia
meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan
sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang
berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina
dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan
kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di
dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin
mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan
menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta
izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai
Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para
pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik
memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang
tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu
anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh
pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan
meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk
menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat
diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian
memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan
Majapahit.
Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan
gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan
permaisuri dengan gelar Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari, Śri
Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā, Śri Jayendradewi Dyah Dewi
Prajnyāparamitā, dan Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari
Tribhūwaneśwari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara
sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia
memperoleh dua anak perempuan, Tribhūwanottunggadewi Jayawisnuwardhani
yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Rājadewi Mahārājasa di Daha.
Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal
dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya
yang diberi nama Kalagěmět. Seorang perempuan lain yang juga datang
bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja
bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian
hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di
Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil
diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kěrtanāgara kepada raja
Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan.
Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, Śrimat Tribhūwanarāja
Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja
Singhasāri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah
tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanāgara.
Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja
Jayanāgara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang
sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.
Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang
berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya
Jayanāgara juga terpengaruh oleh hasutan Mahāpati yang menjadi biang
keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini
dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya
itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan
gagah berani bernama
Gajah Mada.
Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti,
padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal
raja (
běkěl bhayangkāri).
Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan
membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran
pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.
Pada masa Jayanāgara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan
antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di
Majapahit. Jayanāgara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia
dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan
isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.
Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya
diambil alih oleh adik perempuan Jayanāgara bernama Jayawisnuwarddhani,
atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang
diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam
negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan
berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sadĕng dan Keta tahun
1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat
dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah
persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal,
bahwa ia tidak akan
amukti palapa
sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di
Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang
(Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang
(Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada
tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.
Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum
mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk
dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singhāsari. Hayam
Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar Śri Rajasanāgara.
Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhūmi (mahāpatih) yang
sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa
pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya.
Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa
ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke
Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi
Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah
peperangan yang dikenal dengan
peristiwa Bubat,
yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitalokā, puteri raja
Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di
lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi
lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu
Dyah Pitalokā bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua
kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa
setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk
menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu
dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit
juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang
petinggi bernama Nala.
Setelah peristiwa Bubat, Mahāpatih Gajah Mada mengundurkan diri dari
jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah
dengan sepupunya sendiri bernama Pāduka Śori, anak dari Bhre Wĕngkĕr
yang masih terhitung bibinya.
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah
kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam
Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran
air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah
pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar
muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Mahāpatih Gajah
Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhūmi tidak
terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam
Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang
Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit
yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan
keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai
raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan
langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum
mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk
puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre
Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta
itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang
saudara yang dikenal dengan Perang Parěgrěg. Bhre Wirabhumi yang semula
memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre
Tumapĕl ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhūmi kalah bahkan
akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa
dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre
Wirabhūmi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap
bersalah membunuh bangsawan tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka
kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapĕl Dyah Kĕrtawijaya.
Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar Śri
Rājasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan.
Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang
raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing.
Situasi sedikit mereda ketika Dyah Sūryawikrama Giriśawardhana naik
tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu
perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih
berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500.
Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama
Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin
meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang
menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan
Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah
kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah
beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah,
pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhūmi. Ia
menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang
pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah
maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan
penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja
Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur
yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singhāsari,
digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan
menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari
bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.
(Disarikan dari
Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta)
Dikenal sebagai Pusat Magis Seluruh Kerajaan Nusantara
Oleh: Anam Anis*
KERAJAAN Majapahit, selain mempunyai sebuah ibu kota sebagai pusat
pemerintahan dan tempat kedudukan raja serta para pejabat kerajaan,
ternyata juga sebagai pusat magis bagi seluruh kerajaan. Apabila
ditinjau dari konsep kosmologi, maka wujud Ibu Kota Majapahit dianggap
sebagai perwujudan jagad raya, sedangkan raja identik dengan dewa
tertinggi yang bersemayam di puncak Gunung Mahameru.
Keberadaan Kota Majapahit menurut konsep tersebut memiliki tiga
unsur, yaitu unsur gunung (replikanya dibentuk candi), unsur sungai
(replikannya dibentuk Kanal) dan unsur laut (replikanya dibentuk waduk).
Gambaran tentang Kerajaan Majapahit, khususnya tentang penataan
pemukiman istana dan sekitarnya telah diuraikan dalam Kakawin
Nagarakrtagama pupuh VIII-XV. Disebutkan bahwa keadaan istana
dikelilingi oleh tembok yang kokoh dengan parit keliling diluarnya.
Susunan bangunan di istana meliputi tempat tinggal raja dan
keluarganya, lapangan manguntur, pemukiman para pendeta dan rumah-rumah
jaga pegawai kerajaan. Rumah di dalam istana indah, bagus dan kuat. Ibu
Kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh raja-raja daerah dan kota-kota
lain. Di sekitar istana tempat kedudukan raja terdapat tempat-tempat
kedudukan raja-raja daerah (paduka bhattara) serta para pajabat/pembesar
kerajaan.
Kerajaan Majapahit sebagai mandala yang dikelilingi oleh pulau-pulau
lain yang disebut wilayah Nusantara (dwipantara) dan kerajaan-kerajaan
lain yang mengelilingi baik sebagai negara-negara sahabat (mitra) maupun
sebagai negara-negara atau daerah-daerah yang ada dibawah pengaruh atau
perlindungan kekuasaan negara Majapahit.
Dalam struktur birokrasi pemerintahan Kerajaan Majapahit, seorang
raja atau biasa disebut Sri Maharaja adalah merupakan penguasa tertinggi
dan dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia. Raja sebagai orang nomor
satu di kerajaan adalah orang suci yang dihormati, mempunyai kekuasaan
yang besar didukung oleh perangkat birokrasi maupun militer serta
sebagai seorang yang pengasih dan pelindung rakyat dan negara.
Untuk itu sebagai seorang raja haruslah mencurahkan anugerah kepada
rakyatnya, harus menghukum pencuri dan pejahat, harus membuat bahagia
seluruh rakyatnya dengan wajah dan senyumnya, harus selalu mengetahui
keadaan rakyatnya dan semua gejolak di berbagai lapisan masyarakat.
Hubungan antara raja dengan pegawai-pegawainya dalam birokrasi
pemerintahan Kerajaan Majapahit adalah berbentuk hubungan clienship,
yaitu ikatan seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang
dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan penguasa tertinggi.
Sedangkan hubungan raja dengan rakyatnya digambarkan sangat akrab dan
ada saling ketergantungan sebagai tercermin dalam Negarakrtagama pupuh
LXXXIX, yaitu negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan.
Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan.
Raja sebagai puncak tertinggi dalam hirarki kerajaan dalam
menjalankan tugas dibantu sejumlah pejabat birokrasi, para putra dan
kerabat dekat raja mendapatkan kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi.
Para putra mahkota sebelum diangkat menjadi raja pada umumnya diberi
kedudukan sebagai raja muda (rajakumara).
Misalnya Jayanegara sebelum menjadi raja, terlebih dahulu
berkedudukan sebagai Rajakumara di Daha. Hayam Wuruk sebelum naik tahta
menjadi Raja Majapahit, terlebih dahulu berkedudukan sebagai Rajakumara
di Kabalan.
Slamet Mulyana dalam Negarakrtagama dan tafsir sejarahnya (1979:
159), menjelaskan bahwa Jayanegara dinobatkan sebagai raja muda di
Kediri pada tahun 1295.
Pengangkatan raja dimaksud sebagai pengakuan bahwa raja yang sedang
memerintah akan menyerahkan hak atas tahta kerajaan kepada orang yang
diangkat sebagai raja muda, jika yang bersangkutan telah mencapai usia
dewasa atau jika raja yang sedang memerintah mangkat.
Raja muda Majapahit yang pertama ialah Jayanegara. Raja muda yang
kedua adalah Dyah Hayam Wuruk yang dinobatkan di Kahuripan (Jiwana)
dengan nama raja abhiseka Sri Rajasanegara. Pengangkatan raja muda tidak
bergantung pada tingkatan usia.
Baik raja Jayanegara maupun Raja Dyah Hayam Wuruk masih kanak-kanak,
waktu diangkat menjadi raja muda, pemerintahan di negara bawahan yang
bersangkutan dijalankan oleh patih dan menteri.
Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Majapahit, pernah mencapai puncak
kejayaan pada abad ke XIV semasa dibawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk
dan Mahapatih Gajah Mada. Hal ini tak lepas dari sosok raja sebagai
pimpinan/penguasa tertinggi kerajaan yang memang benar-benar mahir dalam
menjalankan roda pemerintahan, berhasil membangun sistem peradilan yang
baik guna menegakkan hukum (supremasi hukum) yang bersumber pada hukum
adat dan agama serta berlandaskan pada ajaran budi pekerti, menghukum
yang bersalah tampa pilih-pilih dan melindungi yang benar tanpa pamrih.
Seluruh hasil pajak (upeti), telah digunakan sepenuhnya untuk
melaksanakan pembangunan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, bangsa dan negara. Raja sebagai pimpinan tertinggi kerajaan,
ternyata sangat dihormati dan dipatuhi seluruh perintah-perintahnya,
baik oleh para pejabat, para pegawai maupun oleh rakyatnya.
Hal inilah yang membuat konsep-konsep pembangunan negara dapat
berjalan sebagaimana mestinya, tanpa mengenal Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme (KKN).
Peta politik kekuasaan negara Majapahit, nampaknya tidak dibangun
melalui partai politik (Parpol), akan tetapi dibangun dengan sistem
turun temurun atau sistem kewarisan tahta kerajaan. Suksesi kepemimpinan
kerajaan seperti tersebut diatas bila di kaji dengan menggunakan
kacamata demokrasi modern, mungkin saja dianggap tidak demokratis.
Namun kenyataannya penyelenggaraan negara Kerajaan Majapahit dapat
berjalan dengan baik, tanpa ada protes atau demo-demo, bahkan telah
berhasil mencapai puncak kejayaan dan zaman keemasan. Situasi ini
sangatlah berbeda dengan peta politik kekuasaan di Negara Indonesia,
dimana terhitung sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat ini, kekuasan
negara diperebutkan melalui skenario politik dari banyak partai politik
dengan bersenjatakan demokratisasi.
Namun hasilnya banyak rakyat yang kecewa, karena janji-janji
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dikala kampanye, seperti
pendidikan gratis, biaya pengobatan gratis, pelayanan publik dipermudah
dan dipercepat, dan lain-lain ternyata selalu tidak ada buktinya.
Bahkan ke depan sepertinya, sistem perebutan kekuasaan pemerintahan
negara atau daerah akan semakin tidak memberikan harapan yang lebih baik
bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal
ini nampak dari semakin jauhnya keterlibatan orang-orang yang memiliki
figur pemimpin yang benar-benar pemimpin, hanya karena yang bersangkutan
tidak memiliki biaya/dana yang besar.
Kharisma pemimpin kini sudah tidak dibutuhkan lagi, sehingga wajar
saja bila rakyat gampang protes atau demo-demo karena ada ketidakpuasan
terhadap para pemimpin yang dalam pemilihannya diusung oleh
parpol-parpol dengan landasan kontrak-kontrak politik semata.
Sudah saatnya, parpol pengusung calon pemimpin yang terpilih untuk
mau bertanggung jawab atas segala tindakan yang melanggar hukum dan
menyengsarakan rakyat yang dilakukan oleh seseorang pemimpin yang
berhasil diusungnya. Marilah kita menoleh pada sejarah keberhasilan dan
kejayaan bangsa zaman Kerajaan Majapahit, karena bangsa Majapahit adalah
leluhur bangsa Indonesia. (*)
Sabdopalon, Setelah 500 Tahun
Ramalan Sabdopalon yang dimuat dalam kitab
Darmogandul yang ditulis 1478 berisi bermacam nasihat, juga
menguraikan riwayat tersiarnya Islam di pulau Jawa. Pro & kontra
mengenai ramalan Sabdopalon.
NAMANYA Sabdopalon. Ia cuma seorang pembantu
(abdi), meski yang diabdi adalah Brawijaya VIII, raja terakhir
Kerajaan Majapahit. Tapi nama sang abdi kini malah lebih bergema
dibanding sang majikan — setidaknya di kalangan penganut
kepercayaan.
Itu karena sang abdi tadi pernah membuat sebuah ramalan, yang
konon diucapkan pada 1478, di saat runtuhnya Majapahit Ramalan
Sabdopalon dimuat dalam Kitab Darmogandul, sebuah buku Jawa yang
tidak jelas pengarangnya. Selain berisi bermacam nasihat, kitab ini
juga menguraikan riwayat tersiarnya Islam di Pulau Jawa.
Alkisah, Raden Patah, putra Brawijaya. bersama sejumlah wali
berontak terhadap Majapahit yang berdasarkan agama Budha. Akibatnya,
Majapahit runtuh dan berdirilah Kerajaan Demak yang berdasarkan
Islam. Menurut Kitab Darmogandul, di saat Brawijaya diajak masuk
Islam oleh Sunan Kalijaga, terjadilah dialog antara mereka.
Tanya Brawijaya: “Jika saya masuk Islam. apakah saya akan
diperintahkan sembahyang, dan bila belum mengerti, apakah aku akan
dimandikan di kolam?” Sunan Kalijaga tertawa. “Tidak. Paduka hanya
perlu mengucapkan dua kalimat syahadat.”
Akhirnya Brawijaya masuk Islam. Ketika Brawijaya menyarankan
kepada abdinya yang bernama Sabdopalon agar ikut memeluk Islam, si
abdi menolak. Abdi yang “raja dan yang tanah Jawa” ini memilih
kembali ke kerajaannya. Tapi ia punya pesan.
“Kelak sepeninggal saya, jika waktunya tiba, genap 500 tahun
sejak hari ini, akan saya ganti agama (Islam), akan kami sebar agama
kebatinan ke seluruh Jawa. Siapa yang tak mau menerima, akan
kuhancurkan. Kuberi alamat kedatanganku: bila Gunung Merapi meletus,
itulah tanda aku mulai menyebar keyakinan, menepati janjiku.”
Dari pesan yang bersifat mesianistis ini, kata Drs. Abu Tholhah,
dosen Aliran Kepercayaan dan Kebatinan Fakultas Ushuluddin IAIN
Jakarta, jelas dimaksudkan bahwa 500 tahun setelah runtuhnya
Majapahit (1478) agama kebatinan akan bangkit lagi. “Anehnya, yang
disebut agama kebatinan itu disebut juga sebagai agama budhi,”
katanya. Akibatnya, orang kebatinan mengklaim yang dimaksud ialah
aliran kebatinan, sedang kalangan Budha berpendapat yang dimaksud
adalah agama mereka.
Banyak penganut kepercayaan yang percaya bahwa ramalan Sabdopalon
itu tidak meleset. Buktinya. aliran kepercayaan diakui oleh negara
pada 1983 lewat GBHN. “Pengakuan itu semakin menimbulkan optimisme
di kalangan aliran kebatinan bahwa suatu saat aliran kebatinan akan
berjaya kembali sebagai agama Jawa,” ujar Abu Tholhah.
Namun, bukankah lima abad setelah 1478 adalah 1978? Benarkah di
saat yang dijanjikan itu ramalan Sabdopalon menjadi kenyataan? Waktu
itu yang terjadi adalah penegasan dalam GBHN bahwa kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaannya
juga dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru.
Konsekuensinya adalah dimasukkannya Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa ke dalam bidang kebudayaan yang dikelola Departemen P &
k.
Siapa sebenarnya penulis Kitab Darmogandul? Ada yang percaya,
kitab tersebut tulisan pujangga Jawa terkenal Ronggowarsito. Banyak
ulama Islam yang mengecam keras buku tersebut, yang dianggap
merendahkan dan memutarbalikkan agama Islam. Tapi tak kurang pula
yang membelanya.
Sejarawan Taufik Abdullah menganggap Sabdopalon adalah tokoh
fiktif yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
“Sabdopalon hanyalah suatu simbol harapan orang Jawa terhadap
Kejayaan Majapahit yang dinilai sebagai puncak kebesaran Jawa,”
katanya.
Pengaitan Sabdopalon dengan zaman kebesaran Majapahit berarti ada
keinginan pembuat ramalan untuk merasakan kembali kebesaran
Majapahit. Taufik mengingatkan, dalam buku Babad Tanah Jawa
disebutkan bahwa raja Mataram masih keturunan Majapahit. Itu
menunjukkan adanya kekaguman terhadap Majapahit dan kesinambungan
budaya yang hendak ditampilkan kembali. Fungsinya untuk memperkuat
kekuasaan raja bersangkutan. “Jadi, Majapahit menjadi semacam impian
yang memberi inspirasi bagi perkembangan sejarah dan spiritual,”
ujar Taufik.
Raja-raja Majapahit
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat
periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8)
dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang
memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok
[7].
- Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 – 1309)
- Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328)
- Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1350)
- Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389)
- Wikramawardhana (1389 – 1429)
- Suhita (1429 – 1447)
- Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 – 1451)
- Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
- Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 – 1466)
- Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
- Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
- Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
- Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)[23]
[sunting] Warisan sejarah
Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutn